Home > Kliping Media > Gatra

Urusan Goyang

  • Kolom: Remy Silado*

Majalah Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996

KALAU ada ‘raja dangdut’, sayalah ‘rajanya raja dangdut’.” Itu peryataan encik Moerdiono, suatu kali. Bagi pemusik dangdut, instrumentalis ataupun vokalis, pernyataan menteri—yang terkenal sangat irit dalam hal bertutur kalimat—itu adalah penghormatan lebih dari sekadar pembelaan terhadap jenis musik ini. Jangan harap ada orang “terpelajar” pada dua dasawarsa lalu bisa leluasa bicara seperti itu. Malah, satu dasawarsa lalu pun, masih membelit dipermasalahkan, apakah TVRI sebagai satu-satunya media elektronik negeri yang memberi kesenangan mata-kuping itu pantas atau tidak menaruh dangdut dalam acara tayangannya.

Yang hidup kekar pada 1970-an—suatu periode dalam musik niaga yang dalamnya melahirkan pahlawan-pahlawan pop—niscaya ingat, betapa dangdut saat itu berada dalam prayojana ternistakan. Kaum muda yang tergila-gila pada pahlawan popnya: John Lennon, Mick Jagger, John Mayall, Ian Gillian, Robert Plant, Frank Zappa, lantas melafazkan “dangdut” sebagai sesuatu yang berkesan griezelig, macabre, creepy, nggilani. Bahkan, di Bandung, seorang fanatikus Mark Farner menyebut dangdut “tai anjing”. Suatu hal yang menyebabkan seseorang yang mengaku serdadu, datang dalam diskusi musik di Gedung Merdeka, gedungnya Konfrensi Asia-Afrika, bicara dengan bahasa “elang menyongsong puting beliung”. Katanya, seraya menunjuk isi ayat-ayat KUHP tentang perkara penistaan, ia akan tembak siapa saja yang menghina dangdut.

Memasuki abad ke-21, penyuka dangdut makin percaya diri. Pelaku dan peminatnya sama-sama percaya, dangdut memberi senang dan membawa manfaat. Di luar dunia dangdut, orang bisa berkata, bahwa yang menyenangkan dan bermanfaat itu belum tentu baik, tetapi agaknya itu tidak punya arti kritik bagi penyuka dangdut. Yang pasti, satu hal yang perdana dalam dangdut adalah goyang. Dalam bunyi “dang” dan “dut”, sekian ratus ribu penyuka dari pelbagai individu, secara serempak—seperti yang terlihat di Semarak Dangdut yang dibuka oleh “rajanya raja dangdut” di Ancol lima bulan lalu—bergoyang ria melepas diri dari berbagai masalah: pikiran yang sumpek, kesulitan ekonomi, ketakberdayaan sosial, kesenjangannya, atau keterpasungan bicara.

Bunyi “dang” dan “dut” yang dihasilkan oleh sejenis membranofon khusus, memang sepintas terlihat sebagai semata suatu gejala bunyi. Tetapi sebetulnya, sebagai bunyi, ia lebih kentara menunjuk pada suatu arah mufrad akan apa yang ditimbulkannya dalam retensi dan sugesti orang-seorang. Etnomusikologi memang tidak membahas konteks ini secara rinci, sebaliknya dalam studi mengenai etika, terhadap musik-musik di luar sejarah musik Barat, bunyi yang mempengaruhi perilaku insani, dibahas manfaat-mudaratnya dari segi norma- norma etis, yaitu konteks kultus jasmani yang dihadirkan demikian otonom.

Bunyi dapat menggiring manusia ke dalam suatu mania. Bunyi juga dapat mendorong manusia ke dalam ekstasi. Tokoh sufi terpandang, Jalaluddin Rumi, dalam mengurai syair-syair yang dilengkapi bunyi musik, memberi isyarat tentang kekuatannya menuntun orang ke fana-al-fana. Goyang dangdut jika mesti dilihat dari norma etis—sebagai pernah keberatan ini didengar ketika TVRI dua dasawarsa lalu menolaknya—adalah justru pada sirkumstansi yang dipandang berlebihan menghadirkan kultus jasmani tersebut ke arah yang sensual, yang banyak kali diperagakan secara amat terbuka menggambarkan apa yang oleh para geisha di Yoshiwara sana dikenal sebagai langkah yonaki.

Kultus jasmani ini benar-benar gejala baru dalam dunia hiburan Indonesia. Keadaannya boleh dikata lebih berani dibandingkan dengan goyang-goyang dari Barat, yang biasanya serta-merta dianggap berbahaya atas nama kebudayaan nasional. Pada musik hiburan sebelum perang, foxtrot dan quickstep dalam iringan lagu berciri lebih 20 bar, gerakannya sebatas dactylus. Dansa dengan jazz yang musiknya bercorak syncope, gerakannya paling-paling mengarah intemperans. Lalu rock ‘n’ roll yang bangkit dari boogie-woogie dengan ciri-ciri interlud 12 bar, gerakannya paling-paling akrobatik dengan sedikit ekstasi. Tetapi goyang dangdut, seperti yang dipertunjukan oleh ratu- ratunya, dalamnya menonjol apa yang pernah populer dalam bahasa Sunda sebagai 3 G: goyang, gitek, geol—semuanya berasosi pada urusan mami-papi di kamar yang rapat.

Tiada perkiraan jumlah penyuka dangdut saat ini. Dengan melihat gambaran iklan yang diperoleh radio dangdut ternama di Jakarta, dalam hal ini CBB FM 107,55 dapat gerangan disimpulkan sementara, bahwa publik dangdut saat ini termasuk yang terluas. Di peringkat iklan, tahun lalu radio ini berada di nomer pertama. Hit segala dangdut ditentukan langsung oleh publiknya. Ancangan hit pekan ketiga Februari, mulai tanggal 12, adalah, pertama, Tuhan Tolong Hambamu oleh Tuty Wibowo. Kedua, Pestamu Dukaku oleh Yulia Citra. Ketiga, Satu Cincin Dua Jari oleh Tiara Kencana.

Apa yang menarik dari nama selain judul di atas? Bahwa “artis” adalah lazimnya perempuan. Ia harus perempuan, sebab begitu mau publiknya. Ia jadi istimewa, sebab sebagai perempuan ia memberi kepuasan mata bagi publiknya yang sebagian besar adalah lelaki. Lewat goyang sensual, memanfaatkan sosok jasmani pada jejak retensi kamar terkunci. Ia dielu lelaki dengan suit-suit dan tempik-sorak keranjingan. Secara ekstrem tanggapan lelaki itu mungkin bertendensi menempatkan dirinya sebagai objek, pajangan bergerak—dan tak terdengar suara feminis, yang notebene mendambakan genderless society itu, gusar atas keyataan ini. Ia sendiri bahagia atas tanggapan itu. Ia pahlawan pelipur masyarakatnya yang susah: yang hidup menderita di gubuk, yang makan dua orang satu piring kaleng, yang terlunta karena judi, yang mata gelap karena PHK, dan seterusnya.

Hebatnya, dari sketsa sedu-sedan itu, ia memperoleh keuntungan komersial. Konon, dalam bisnis perkasetan, hanya segmen dangdut saja yang ajek tak terganggu oleh kebijakan moneter yang paling sulit dimengerti sekalipun./GIS.-

* Pengamat seni


Laporan terkait:


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.