Home > Kliping Media > Gatra

Maraknya Rezeki Dangdut

Majalah Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996

Musik dangdut melahirkan banyak penyanyi dan pencipta lagu. Semuanya dicintai publik, hidup makmur, dan berkecukupan.

BEGITU banyak nama yang tercatat dalam sejarah musik dangdut. Sekali dicatat, langsung dapat tempat, dicintai publiknya, dan tak akan terlupakan. Berikut ini adalah sejumlah kecil di antaranya.

Evie Tamala

"SAYA ingin mengangkat pamor dangdut melalui penggarapan video klip yang serius," kata Evie Tamala kepada Joko Syahban dari Gatra. Itu sebabnya penyanyi dangdut yang meroket lewat album Dokter Cinta, Rambut, Rembulan Malam, dan Selamat Malam itu rela berdingin-dingin, syuting untuk klip terbarunya di puncak Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Targetnya, ia ingin menembus MTV, jaringan televisi khusus musik dari Amerika Serikat yang juga membidik kawasan Asia.

Sebagai bukti keseriusannya itu, ia rela merogoh koceknya sendiri, tak kurang Rp 100 juta untuk membuat video klip lagu terbarunya, Sebuah Janji, yang mengambil lokasi di Gunung Bromo itu. Padahal, biasanya sebuah video klip dangdut digarap sekadarnya dan menghabiskan tak sampai Rp 5 juta. "Itu pun lokasinya paling-paling di seputar Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, atau malah di halaman TVRI," kata Evie.

Paling tidak, obsesi Evie itu untuk sementara terbayar. Video klip Sebuah Janji merupakan klip dangdut pertama yang menembus pilihan "Video Musik Indonesia" yang digelar TVRI setiap bulan, sebagai ajang apresiasi atas video klip yang dianggap memenuhi kriteria artistik.

Evie Tamala dilahirkan di Tasikmalaya, 23 Juni 1969, putri bungsu dari enam bersaudara pasangan Ali Arifin dan Omai Kaswati. Artis berkulit hitam manis bernama asli Cucu Suryaningsih itu adalah salah satu dari sekian bukti cerita sukses seorang artis dangdut. Ia mengawali kariernya sebagai penyanyi dangdut pada 1987. Enam buah albumnya mampu meraih penghargaan HDX, di antaranya album Rambut yang terjual lebih dari 1 juta keping. Bersama suaminya, Heru Waluyo, ia kini mendiami rumah berlantai dua di Kompleks Perumahan Cimone Permai, Tangerang. Sebuah Sedan BMW merah hati bernomor polisi tanggal kelahirannya: B 236 S, melengkapi kisah suksesnya.

Penyanyi yang bertinggi badan 154 cm dan berat 49 kg itu mengaku makin mantap menekuni musik dangdut. Bahkan sejak 1993, ia mulai memproduksi lagu-lagu yang diciptakan dan dinyanyikannya sendiri. Untuk itu, ia mendirikan Evie Tamala Production yang berkantor di rumahnya sendiri. "Jangan buru-buru disebut rumah produksi. Ini hanya sebuah home industry hasil coba-coba saja. Saya hanya ingin mandiri, paling tidak agar tidak mudah dibohongi produser," kata penyanyi dangdut generasi baru yang kini paling laris itu.

Iis Dahlia

ARTIS dangdut kelahiran Indramayu, 29 Mei 1972, terlahir sebagai Iis Laeliyah, anak ketiga dari empat bersaudara pasangan H. Ma'muri Zen (almarhum) dan Komariah. "Ternyata nama pemberian produser itu terdengar enak dan mendatangkan rezeki," kata Iis yang jadi Dahlia itu. Ia tidak menyangka jika dangdut akhirnya menjadi lahan peruntungannya.

Menjadi penyanyi memang merupakan cita-citanya sejak duduk di bangku SMP. Maka selepas SMA, Iis berbulat tekad hanya akan menjadi penyanyi. Ia pun mengawali kariernya menjadi penyanyi lepas di panggung hiburan Ancol dan Monas. Kala itu, ia hanya mendendangkan lagu-lagu berirama pop.

Singkatnya, ia mendapat tawaran rekaman untuk pertama kalinya pada 1987, untuk menyanyikan lagu-lagu Mandarin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, lagu-lagu itu tak kunjung mengubah peruntungannya.

Baru pada 1988, ia mendapat tawaran rekaman dari Akurama Record, tapi untuk menyanyikan lagu dangdut. "Saat itu pasaran lagu-lagu pop sedang lesu. Saya pikir apa salahnya saya coba lagu dangdut," kata istri Dadang Indrajaya itu. Maka mengalirlah album-album dangdutnya, antara lain Juned, Tamu tak Diundang, Air Mata Tiada Arti, Janda Kembang, Cinta Yang Ternoda, Sakitnya Hatiku, Kasih, Gara-gara Malam Minggu, dan Payung Hitam.

Dalam tempo tak terlalu lama ia meraih sukses besar melalui albumnya yang kedua, Tamu tak Diundang (1990), yang meraih HDX Award dan menembus tiras 1 juta keping. Namun juga tidak disangkal, hampir sebagian besar albumnya meraih sukses di pasaran. Hasilnya, ia bisa hidup layak, mengongkosi sekolah adik-adiknya, memiliki dua mobil, dan sebuah rumah di kawasan Permata Puri, Cibubur, Jakarta Timur.

Pecinta warna biru itu ternyata masih menyimpan rindunya di musik pop. Iis mengaku, dua tahun lalu ia sempat menggarap sebuah album pop slow rock bersama musikus Jocky Surjoprajogo. Cuma karena pertimbangan macam-macam, album itu sengaja dipendam. "Lama-lama saya tak sabar juga, karena terlalu lama disimpan. Bisa jadi album itu saya beli dan saya edarkan sendiri. Nggak laris juga tak apa, yang penting lega hati ini," katanya.

Ikke Nurjanah

GADIS mungil kelahiran Jakarta, 18 Mei 1974, itu mengaku berkenalan dengan dangdut lewat lagu Bunga Dahlia yang dilantunkan Ida Laila. Kala itu Ikke Nurjanah yang bernama asli Hartini Erpi Nurjannah masih di kelas IV SD. "Saya manggung pertama kali di pentas RT di Pademangan, Jakarta Utara. Lagu Bunga Dahlia itulah yang pertama kali saya hapal," kata Ikke kepada Ahmad Husein dari Gatra.

Sejak itu, putri pasangan Abdul Pihar yang berasal dari Sibolga, Sumatera Utara, dan Djunaerti yang berdarah Sunda itu tidak pernah absen dari panggung acara-acara perhelatan di kampungnya. Syahdan suatu ketika, seorang pencipta lagu dangdut dan pemandu bakat, Imam Badawi, mengendus bakatnya. Badawi pun meminta contoh vokal dan foto Ikke untuk disodorkan ke produser. Sayangnya, manakala sang produser melihat si mungil itu, ia jadi ragu. Ikke kecil dianggap terlalu dini untuk melantunkan lagu dangdut yang liriknya sarat dengan kata cinta itu.

Badawi pun membawanya ke produser lain. Ikke disambut dengan antusias oleh Arista Record. Di perusahaan rekaman itu pula ia mendapatkan nama komersialnya. Pada 1989, meluncurlah album perdana Ikke, Gerbong Sengsara. Karena tidak didukung promosi yang memadai, hasilnya tidak terlalu menggembirakan.

Justru lagu-lagu dangdut bernuansa Jawa yang menghantarkannya ke jenjang sukses. Bersama iringan Orkes Melayu Awara dari Surabaya, ia menggeber album-album berbahasa Jawa (kadang-kadang campuran Jawa-Indonesia) seperti Ojo Suwe-Suwe (1989), Iki Lho Mas (1990), atau Sun Sing Suwe (1994). Paling tidak, hingga kini Ikke telah berhasil merilis 11 album dan menempatkan dirinya sebagai salah satu artis penyanyi dangdut laris saat ini.

Lantas apa yang sudah diperoleh Ikke dari dangdut? "Banyak. Alhamdullilah banyak sekali. Paling tidak, saya bisa membiayai sekolah sendiri, uang jajan sendiri, dan sedikit membantu orangtua," kata mahasiswi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya yang sedang menyelesaikan skripsinya itu.

Membayar uang kuliah sendiri hanyalah sebagian kecil dari rezeki dangdut yang disyukurinya. Contoh lain dari kemakmuran seorang artis dangdut belia ini adalah tiga buah mobil, di antaranya sedan Ford Telstar, bonus dari sebuah album rekamannya yang berhasil meledak di pasaran. Bukti lainnya lagi, mahasiswi ini senantiasa ditemani telepon genggam ke mana pun pergi. "Ah, ini kan hanya sarana untuk memudahkan komunikasi, karena tuntutan kesibukan," kilah gadis yang rajin salat lima waktu itu.

Imas Cucu Cahyati

YANG pasti, ia memiliki sebuah rumah di Pesanggerahan Emas, dekat Cipulir. Tak dijelaskannya, bagaimana ukuran dan kondisinya. "Bicara soal materi, kayaknya terlalu pribadi," kata penyanyi dangdut yang melejit melalui lagu Mabuk Judi pada 1990 yang terjual 500 ribu keping itu. Album Imas Cucu Cahyati, 26 tahun, yang juga sukses di pasaran adalah Penonton (1995) yang terjual 300 ribu keping. Untuk itu, ia antara lain memperoleh royalti Rp 150 untuk setiap keping kaset yang beredar. Itu, tentu saja, belum termasuk bonus yang diberikan produser.

Toh, bisa dibayangkan, sejak lima tahun terakhir ini, Cucu sudah manggung di pelbagai kota di seluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya. Dan sudah umum diketahui, sebenarnya pendapatan dari kontrak manggung itu jumlahnya jauh lebih besar ketimbang dari penjualan kaset.

Sebenarnya, Cucu tak punya cita-cita jadi artis. Semula ia cuma menyenangi lagu-lagu daerah dan pop. Kalaupun sesekali ia mencoba menyanyi lagu dangdut, itu hanya coba-coba. "Setamat SMA, saya ikut lomba dan membawakan lagu dangdut, dan ternyata kata orang suara saya lebih pas dan sreg di dangdut," kata Cucu. Maka, sejak itu ia memasuki dapur rekaman di jalur dangdut.

Mahasiswi semester III pada Akademi Manajemen Budi Luhur, Jakarta, itu mengaku antiobat-obatan terlarang. Ia juga tidak merokok. "Saya kan perempuan. Merokok saja sudah tidak pantas, apalagi mabuk-mabukan," katanya. Ia juga menolak melakukan operasi plastik untuk mempercantik wajah seperti dilakukan sementara artis. "Kecantikan itu berasal dari dalam yang tercermin ke luar," kilahnya.

Fahmi Shahab

BUNGSU dari tujuh bersaudara. Fahmi dilahirkan di Jakarta 9 Januari 1956 dari pasangan Abdullah Shahab dan Sarifah Aisah Shahab. Fahmi kecil, ketika berusia tiga tahun, diboyong orangtuanya ke tanah leluhurnya di Palembang. Sewaktu usianya 11 tahun, ia menjadi yatim. "Hidup saya menjadi tidak terarah," ujar Fahmi. Makanya, ia tumbuh menjadi "anak liar".

Di masa-masa "kelayapan" dan begadang ini, ia pun bergaul dengan para pemusik di kota itu. "Saya membantu mengangkatkan alat-alat musik mereka. Tapi, saya selalu diejek," katanya.

Pada 1970, ia nekat mengembara ke Jakarta. Namun, kehidupan yang keras di Ibu Kota akhirnya mendepaknya kembali ke Palembang. Tapi, pada 1973 ia mencoba lagi mengadu nasib ke Jakarta. Ia mendapatkan pekerjaan di pabrik keramik dengan upah Rp 45 per hari. Ketika baru empat bulan bekerja di situ, ia mendengar dari seorang kawannya bahwa Elvy Sukaesih sedang mencari bibit penyanyi untuk dipersiapkan ke dapur rekaman. Ia pun segera menemui Elvy. Tapi, baru dua tahun kemudian (1976) kesempatan untuk rekaman datang kepadanya. Namun, hasil rekamannya tak kunjung diedarkan. "Diganti dan diulang-ulang terus sampai saya bosan," Fahmi mengeluh.

Karena kecewa, Fahmi segera memupus harapannya untuk menjadi penyanyi dangdut. Ia lalu bekerja di diskotek Tanamur di Tanah Abang, dan melamar jadi disc jockey. Untunglah, meski tak pandai bahasa Inggris, ia diterima juga di diskotek yang banyak dikunjungi orang asing itu.

Di Tanamur, Fahmi bertahan selama empat tahun, sampai akhirnya ia mengambil beasiswa ke Arab Saudi untuk mempelajari fotografi. Di sana, ia pun mendapatkan pekerjaan lumayan, dan bisa naik haji meskipun harus bercerai dengan istri yang dinikahinya pada 1978. Bahkan, di Saudi ia sempat pula membentuk kelompok musik "Sahara" bersama orang-orang Indonesia yang ada di sana.

Toh, Jakarta tetap menggodanya. Maka, pada 1983 ia balik lagi ke Jakarta, langsung menuju bar Parahiyangan di Jalan Blora. Di tempat itulah ia memulai kariernya sebagai penyanyi, dengan gaji Rp 185 ribu sebulan. Tahun 1984 ia mencoba merekam 10 lagu, yang hingga saat ini cuma bisa "disimpan".

Setelah hidup dari bar ke bar sebagai penyanyi lagu-lagu jazz dan lagu-lagu Barat standar, dan sempat pula ia menyanyi di Filipina, pada 1989 ia bertemu dengan dua orang Jepang yang tertarik pada gaya Fahmi yang mirip penyanyi Jamaika. Si Jepang menyarankan agar lagu Coffee Rhumba yang pernah populer di Jepang pada 1978 digubah kembali oleh Fahmi. Maka, jadilah Kopi Dangdut, yang direkam dan diedarkan di Jepang, dan laris. Rekaman itu baru diedarkan di Indonesia pada 1990, dan juga laris manis. Itulah lagu yang tergolong pertama kali bisa beredar di kedai-kedai minum dan diskotek.

Meski sukses Kopi Dangdut tidak melimpahkan rezeki kepadanya -- karena kedua orang Jepang yang merekamnya itu "mengkhianati"-nya -- nama Fahmi Shahab menjadi beken. Dan, belajar dari pengalaman, ia lalu merekam sendiri lagu-lagu berikutnya, meski tidak begitu sukses.

Toh, sejumlah lagu terus dikarangnya, di antaranya dinyanyikan pula oleh Muchsin Alatas, Elvy Sukaesih, dan yang sangat populer, Gubuk Bambu, dinyanyikan oleh Meggy Z.

Bersama istri, Siti Eshandayani (istrinya yang keempat), dan kedua anaknya, Fahmi kini hidup tenang di bilangan Ragunan. Di rumah itu terdapat studio mini lengkap dengan segala peralatannya yang memudahkannya membuat lagu. "Sambil tidur pun bisa," katanya. Tentang kekayaannya, ia hanya berkata, "Pokoknya, secara materi saya tidak kekurangan, dan tidak terlalu berlebihan," katanya.

Meggy Zakaria

PENYANYI lagu Sakit Gigi ini, Meggy Zakaria, 50 tahun, tampak rendah hati. Meski punya dua rumah di Cempaka Putih, dan di Cipayung -- yang ada musalanya -- ia sungkan mengungkit soal pendapatannya dari musik dangdut. "Yang penting ada kuda," kata ayah dua anak pemilik BMW keluaran 1980 itu. Pengurus masjid di lingkungannya itu lebih bergembira jika bercerita tentang rencananya untuk naik haji tahun ini. Ia memang religius. "Meski belum pernah membangun masjid, tetapi menyokong pembangunan masjid itu kewajiban," katanya kepada Krisnadi Yuliawan dari Gatra.

Namanya sebagai penyanyi dangdut melejit kali pertama pada 1987 lewat lagu Sakit Hati. Ia memperoleh bonus lumayan dari produsernya. Namun, meskipun namanya melambung lewat lagu Sakit Gigi pada 1991, peruntungannya tidak jalan seiring. Soalnya, kala itu sistem kontraknya tak jelas. Cuma atas dasar saling percaya. Konon, kabarnya ada penyanyi dangdut yang diberi bonus mobil tak disertai surat tanda kepemilikan.

Toh, lelaki kelahiran 25 Agustus 1945 itu tetap mensyukuri hidupnya. Ia masih terkenang, selepas SMA pada 1962 ia masih menjadi penyanyi orkes yang mengembara dari kampung ke kampung. Saat itu ia tak cuma menyanyi dangdut. Ia pernah juga bergabung dengan grup band Minang, menyanyikan lagu pop, bahkan memetik gitar pengiring. "Karena saya senang film India, maka bakat dangdut saya pun mengalir," katanya.

Debutnya di dunia rekaman berawal pada l970, di studio Remaco. Tapi, lelaki yang semula bercita-cita jadi pengusaha itu sempat juga putus asa ketika musik dangdut dicap kampungan, tidak laku, dan segala macam. Tapi karena sudah mendarah daging, ya dijalaninya juga. "Sekarang mau laku atau tidak, saya sudah mantap di dunia dangdut," katanya.

Syukurlah, sekarang dangdut sudah diterima masyarakat luas. "Bahkan, sudah ada regenerasi," katanya. Hanya saja, ia mengkritik penyanyi dangdut yang muda-muda, yang suaranya terpaksa ditopang teknologi rekaman. "Jarang ada penyanyi muda bersuara dangdut banget," kata Meggy.

Jaja Miharja

IA meluncur dengan mobil Honda Genio hitamnya ketika menghadiri buka puasa bersama di rumah artis Evie Tamala di bilangan Cimone Permai. Itu adalah salah satu dari mobil yang dimiliki Jaja Miharja, 53 tahun. Tapi ia ogah menyebut jumlahnya. "Tak usahlah," kata pengasuh acara "Kuis Dangdut" di TPI itu kepada Andi Zulfikar Anwar dari Gatra. Rumah? "Alhamdulillah, ha, ha, lumayanlah. Pokoknya, tidak bocor," katanya.

Ayah tiga anak dan kakek seorang cucu itu mulai memasuki rekaman pada 1970 di studio Remaco. Ia lalu beralih ke dunia film. Sempat ada 20 film yang diikutinya, tapi cuma sebagai pemain figuran. Baru pada saat terakhir ia tampil sebagai pemeran utama pada film Memble, Jangan Kau Tangisi, dan Perjanjian dengan Setan. Karena namanya mulai mencuat, ia kembali ke blantika musik dangdut pada 1983 dengan lagu andalannya, Putus Cinta.

Keberhasilan Jaja di dunia film dan musik dangdut tak membuatnya harus membusungkan dada. Ia tetap merasa dirinya "orang kampung". Sebenarnya, itu pulalah alasannya mengapa ia dulu menerjuni musik dangdut. "Orang kampung itu sukanya memang dangdut. Tak mungkin lagu pop," katanya. Alasannya, karena lagu dangdut itu selalu menceritakan hidup keseharian. Tentu saja, tak semua orang seperti Jaja.

Rita Sugiarto

RITA Sugiarto, 33 tahun, juga mengawali kariernya di musik pop. Bahkan Rita mengaku cukup serius menekuninya. Beberapa kejuaraan pop singer tingkat Kota Madya Semarang hingga tingkat Jawa Tengah berhasil disabetnya. Demikian pula untuk kategori keroncong dan festival bintang radio. "Piala saya banyak dan gado-gado," kata Rita kepada Khudori dari Gatra.

Merasa tidak berkembang di Semarang, pada 1975 ia memutuskan hijrah ke Jakarta. Kala itu usianya masih sangat remaja, 13 tahun. Setahun kemudian ia bertemu Rhoma Irama. Karena bakatnya yang luar biasa, ia ditawari berduet dengan sang "raja dangdut". Ia bergabung dengan Soneta Group dan membelot ke jenis dangdut. Sejak bergabung dengan Soneta (1976-1981), bersama Rhoma ia telah merilis 20 album duet, di antaranya Darah Muda, Begadang, dan Gitar Tua. Album terakhirnya bersama Rhoma berjudul Pemilu (1981). Bersama Rhoma pula ia melahirkan beberapa lagu sound track film yang dibuat Rhoma Irama. Hampir semua album duetnya bersama Rhoma meledak di pasaran. Setiap album terjual lebih dari sejuta keping. Album-album duetnya itu sempat menghasilkan penghargaan tujuh buah piringan emas.

Pada 1981 ia memutuskan memisahkan diri dari bayang-bayang Rhoma. "Saya harus mandiri dan tidak boleh menyusu pada sang guru," kata Rita. Tahun perpisahannya dengan Rhoma ditandai dengan perkawinannya dengan Jacky Zimah. Bersama suaminya, ia sempat merilis sembilan album, di antaranya Jacky, Halo Dangdut, Makan Hati, Ke Ujung Cinta, dan Zainal. Bahkan Rita berhasil menggebrak pasar melalui album pertamanya, Jacky, yang terjual hingga lebih dari 2 juta keping.

Sejak ia pisah dengan Rhoma, setidaknya empat pengharaan piringan emas berhasil disabetnya. Sejak itu pula ia telah menciptakan lebih dari 100 lagu dangdut. "Alhamdulillah, kini secara materi saya jauh lebih baik. saya sudah punya rumah, kendaraan, dan tabungan di masa tua," kata Rita. Kini ia merasa tenteram tinggal bersama suami dan seorang anaknya di rumahnya yang megah di kawasan Bukit Permai, Cibubur, Jakarta Timur.

Hamdan Attamimi

IA lebih dikenal sebagai Hamdan ATT. Penyanyi langsing berambut kribo kelahiran Maluku 27 Januari silam ini genap berusia 46 tahun. Ia tergolong penyanyi dangdut yang "nelangsa", dan itulah ciri lagu-lagunya: hidup yang papa. Dari bibirnyalah meluncur senandung derita yang tak alang-kepalang dan sangat terkenal itu: Gubuk Derita, Mabuk Judi, Sepiring Berdua, dan Termiskin di Dunia. Di samping lirik yang merana dan suaranya yang penuh hiba itu, "Ciri khas saya yang lain adalah kumis. Bila kumis saya dicukur, bukan Hamdan namanya," katanya kepada Khudori dari Gatra.

Meski lahir di Maluku, sejak usia tiga tahun ia sudah mengembara ke Jakarta dibawa kedua orangtuanya. Bakat musik digalinya sendiri. Ia pandai bermain gitar ketika berusia 18 tahun (1968). Karena bandel, ia tidak sempat menamatkan SMA-nya.

Berkat pergaulannya dengan para pemusik dangdut, seperti M. Faris, Ilin Sumantri, Nus S., dan Dino Ball WL -- yang menjadi guru vokalnya hingga kini -- Hamdan pun menjadi "ahli dangdut". Ia mulai menciptakan lagu dangdut pada 1974. Lagu-lagunya ternyata diterima oleh produser rekaman, dan dinyanyikan oleh Muchsin Alatas dan Elvy Sukaesih. Rhoma Irama pun menyanyikan beberapa lagunya, seperti Bunga-bunga Cinta (Bunga-bunga Ganja - webmaster), Rantai-rantai Derita, dan Kemarau.

Untuk menguji bakat menyanyi dan mengarang lagu, ia pun mengikuti lomba menyanyi dan lomba cipta lagu dangdut tingkat nasional, 1979 dan 1980. Dan ia bisa tampil sebagai juara. Bahkan, empat lagu ciptaannya memborong hadiah.

Pertama kali memasuki dapur rekaman sebagai penyanyi, ia berduet dengan Yuliatin. Popularitasnya pun kian menanjak.

Hingga kini ia telah menciptakan sekitar 150 lagu, dan 20 di antaranya dinyanyikannya sendiri. Dua lagu yang didendangkannya pada 1980, Petualangan Cinta dan Pendusta, ternyata hingga kini masih laris di pasaran. Namun, Termiskin di Dunia-lah yang paling melimpahkan rezeki kepadanya. Lagu ciptaan Endang Rais itu terjual lebih dari 1 juta keping, dan ia menerima bonus sebuah mobil dari produsernya.

Pemenang HDX Award tiga kali itu kini hidup damai bersama istrinya, Hasibah Yusuf Thalib, yang telah memberinya enam orang anak, di rumah mereka di bilangan Jakarta Timur. Ia juga memiliki sebidang tanah di Sukabumi, dan tahun ini berencana untuk menunaikan ibadah haji, membangun sebuah studio mini, dan sebuah musala. (J. Eko Setyo Utomo dan Bersihar Lubis)/GIS.-


Laporan terkait:


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.