Home > Kliping Media > Gatra

Semarak Primadona Industri Hiburan

Majalah Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996

Semula dangdut mengekspresikan suara orang tertindas. Kini ia diterima kalangan atas.

"Selamat malam duhai kekasih sebutlah namaku menjelang tidurmu Bawalah aku dalam mimpimu yang indah Di malam yang dingin sesunyi ini".

Lirik lagu Selamat Malam ciptaan (dan ditembangkan serta diproduksi sendiri) penyanyi Evie Tamala itu terasa menyentuh. Dibawakan dengan suara yang tipis-romantis, setidaknya nyanyian dalam kemasan dangdut gaya Evie itu tak lagi terdengar picisan.

Agaknya, pesona lirik semacam itulah yang membuat musik dangdut menjadi kian akrab menyapa kalangan atas. Artis berkulit hitam manis itu boleh jadi dengan sadar menjauhi lirik-lirik ''menyebalkan'', sebuah citra yang sebelum ini terlanjur mewarnai musik dangdut.

Jenis lirik yang tak beraura vulgar itulah, agaknya, yang membuat dangdut kini bisa juga berkiprah di Hotel Indonesia (HI). Tengoklah di lantai 15 hotel prestisius itu, setiap Jumat malam sejak bulan lalu, bunyi gendang ''dangdut'' itu terdengar menggoda. Pekan lalu, misalnya, sekitar 250 pengunjung tampak tak betah berlama-lama duduk di kursi berkapasitas 300 kursi itu. Mereka beringsut perlahan menggoyang pinggul dengan liuk yang sopan. Maklum, busana mereka pun menunjukkan kelas tersendiri: jas, safari, dan sepatu mengkilap.

Merebaknya atmosfer dangdut di HI bukanlah uji coba. Menurut Manajer Hubungan Masyarakat Hotel Indonesia, Henny Puspitasari, pihaknya tak kuasa membendung hasrat pengunjung yang berjibun. ''Masa, menari tanpa dangdut,'' kata Henny, menirukan aspirasi pengunjung. Tetapi alasan yang lebih menarik adalah, ''Karena dangdut sudah diidentikkan sebagai musik Indonesia,'' kata Henny kepada Andi Zulfikar Anwar dari Gatra.

Untuk bisa menari dalam ''aura Indonesia'' itu, cover charge senilai Rp 75 ribu per kepala tak lagi dipersoalkan para pengunjung. Sebab, selain memperoleh dinner, di ruang Ramayana Wings di Nirwana Supper Club HI itu mereka bisa santai bergoyang-ria. Apalagi artis yang tampil adalah para penyanyi yang sudah kondang. Pada acara pembukaan misalnya, si ''raja dangdut'' Rhoma Irama tampil menggayut hadirin, bersama Camelia Malik dan Itje Tresnawaty.

Tak pelak, ''dangdut'' tak lagi sekadar bunyi gendang yang diucapkan dengan mulut setengah mencibir. Ia telah bermetamorfosis menjadi ''ahli bait'' di rumah sendiri. Meskipun, pada mulanya, ia merupakan hasil percampuran tamaddun musik Hindustan dan Melayu Deli, kini ia menjelma menjadi cermin besar yang memantulkan sosok wajah keindonesiaan. Setidaknya, tak lagi seperti film nasional yang hanya mampu menjadi ''tamu di rumah sendiri''.

Pergelaran Semarak Dangdut 50 Tahun Indonesia Emas di Ancol, Jakarta, Agustus lalu, mengukuhkan fakta bahwa dangdut memang musik Indonesia. Kala itu, di atas panggung yang megah dengan guyuran cahaya warna-warni, tak kurang dari 30 penyanyi tampil silih berganti. Dan, astaga, peristiwa itu telah membuat 200 ribuan pengunjung hanyut dalam keriuhan goyang pinggul dan lambaian tangan.

Antusiasme khalayak itu menjadi bukti bahwa musik dangdut secara kongkret punya khalayak sendiri. Malam itu, bahkan Mensesneg Moerdiono yang didaulat menjadi ''Bapak Musik Dangdut'' tak sungkan larut di panggung, berjoget, dan bernyanyi bersama Elvy Sukaesih. Perhelatan itu sekaligus menepis anggapan bahwa dangdut adalah musik berselera rendah. ''Saya malah senang dijuluki Bapak Dangdut. Tak harus turun gengsi hanya karena saya seorang menteri,'' kata Moerdiono kepada Linda Djalil dari Gatra.

Adalah Moerdiono juga yang memungkas ide Pesta Rakyat Langlang Buana 95 sebagai penutup kegiatan ''HUT Emas RI''. Sebuah safari dangdut yang digelar di 12 kota, mulai dari Bandaaceh hingga ke Ujungpandang, dan mendapatkan sambutan luar biasa.

Tak dapat disangkal, inilah hasil perjuangan Rhoma Irama, yang digelari William Frederick, doktor lulusan Universitas Hawaii, dalam makalahnya, Rhoma Irama and The Dangdut Style (1982), sebagai ''superstar pelipur lara'' di Indonesia. Adalah Rhoma yang dengan sadar telah menciptakan musik populer dengan lirik yang komunikatif. Ia menekankan moralitas religi dan tema orang miskin yang jadi kaya. Dalam gerakan yang disebut Rhoma sebagai ''revolusi dangdut'' itu, ia juga membangun gaya pertunjukan panggung yang penuh pesona, lengkap dengan dry ice dan pakaian panggung yang flamboyan (lihat: Berkat Revolusi Sang Raja).

Sekarang, seperempat abad setelah ''revolusi'' itu, dangdut tidak hanya makin mendapat tempat di negeri ini, melainkan juga telah menjadi sebuah ladang bisnis dan industri dengan omset miliaran rupiah. Sejumlah stasiun radio swasta pun memberi ruang yang luas bagi penyiaran lagu-lagunya. Stasiun televisi TPI bahkan tak sungkan-sungkan memproklamasikan diri sebagai ''Televisi Dangdut''. Masih segar dalam ingatan, betapa stasiun televisi ini memborbardir siaran beraroma dangdut. Mulai dengan film yang berlatar lagu dangdut, pentas live dangdut, hingga wawancara dengan artis dangdut, habis-habisan ditayangkan televisi milik Mbak Tutut itu.

Di Jawa Timur, 80% radio swasta pun mengudarakan program dangdut. Satu di antaranya yang terkenal adalah Radio Wijaya, Surabaya. Tiga tahun terakhir ini, menurut SRI, itulah radio dengan pendengar -- dan iklan -- terbanyak di sana. ''Semua itu gara-gara oldies dangdut,'' ujar Catur E.J., Manager Programming Radio Wijaya, kepada Tuti Herawati dari Gatra. Program dangdutnya mengudara tujuh jam sehari. Padahal, siaran lagu pop Indonesia cuma dua jam, dan lagu Barat empat jam.

Radio Cakti Budhi Bhakti (CBB), Jakarta, yang juga menahbiskan diri sebagai radio dangdut, bahkan bisa meraih iklan Rp 2 milyar setahun. Sedangkan Muara FM, yang 100% program siarannya adalah dangdut, bisa meraih iklan Rp 100 juta sebulan. Bersama Muara FM, kedua radio itu sanggup merengkuh pendengar yang 60%-nya adalah kelas menengah ke atas. Agar tahu saja, sebagian besar saham Muara FM sudah dibeli kongsi Rhoma Irama, Camelia Malik, Harry Capri, dan Sys NS.

Selain radio, tak sedikit pula diskotek di seluruh Tanah Air yang welcome kepada musik dangdut. Setidaknya, sejak awal 1990- an, diskotek Earthquake di Silang Monas, Jakarta, menyelipkan lagu dangdut di sela lagu disko. Sebelum itu, diskotek Stardust, Rotary, dan Klimax telah mengawalinya. Bahkan sejak l982, bar Nirwana, Puspita, dan Parahiyangan di kawasan Jalan Blora nekad menjadi ''bar dangdut'' -- seperti di bilangan Mangga Besar -- yang ujung-ujungnya tentu demi menjaring duit pengunjung.

Tak cuma itu. Dangdut-mania pun melahirkan tabloid Dangdut, Juni 1995, yang digagas Arswendo Atmowiloto dan didukung perkongsian Sudwikatmono, Benny Suherman, serta Ciputra. Pemimpin redaksinya, Djoko Darmojo, mengakui bahwa kehadiran tabloidnya dirangsang oleh maraknya industri musik dangdut.

Pamor dangdut yang makin bergengsi ini juga disokong angka fantastis yang disodorkan komponis Candra Darusman, selaku Ketua Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Misalnya, perolehan royalti untuk 1995 yang berjumlah Rp 2,3 milyar itu didominasi oleh pencipta lagu dangdut. ''Pokoknya, ranking pencipta dangdut jauh di atas pencipta lagu pop dan rock,'' kata Candra kepada Gatra. Maklum, dari 1.000 anggota YKCI, lebih dari separuh adalah pencipta lagu dangdut.

Kasus pembajakan kaset pun paling banyak menimpa lagu-lagu dangdut. Di luar kaset bajakan, lagu Lebih Baik Sakit Gigi, misalnya, bisa terjual 300 ribu keping. Suatu hal yang membuat penciptanya, Meggy Z., beroleh bonus Mazda 323 pada 1991. Bahkan, lagu Duh Engkang-nya Itje Tresnawaty bisa terjual 1 juta keping -- hatta, istri Eddy Sud itu bisa membangun sebuah masjid di Tasikmalaya. Sementara itu, album Termiskin di Dunia bisa terjual 1,1 juta keping. Sedangkan kaset-kaset awal Evie Tamala, menurut produsernya, Arie Wibowo, bisa terjual 700 ribu keping.

Di luar rekaman, adalah kenyataan bahwa pertunjukan-pertunjukan panggung musik yang paling deras dan ajek frekuensinya di Indonesia adalah pentas musik dangdut. Evie Tamala, misalnya, hampir saban hari dalam sebulan dipadati oleh acara manggung sejak ia terjun ke dunia dangdut pada 1987. Sekarang ia, sebagaimana halnya Ikke Nurjanah, membatasi cuma dua kali pentas dalam seminggu. Bahkan sepanjang Ramadhan, mereka menyatakan libur penuh, walaupun syuting untuk televisi jalan terus.

Maka, tak mengherankan jika kini Evie Tamala, peraih HDX Award (penghargaan untuk kaset terlaris) untuk enam lagunya, bisa hidup lumayan makmur. Juga Ikke Nurjanah, yang meledak dengan album Ojo Lali. Atau Iis Dahlia, penyanyi yang Tamu Tak Diundang-nya terjual 1 juta keping.

Rezeki dangdut tak cuma datang dari hasil penjualan kaset dan royaltinya, melainkan terlebih-lebih dari honorarium naik panggung. Menurut sebuah sumber, honor untuk para penyanyi ''papan atas'', seperti Evie, Ikke, dan Iis, minimal Rp 5 juta untuk sekali pentas, dan itu hanya untuk menyanyikan dua atau tiga lagu. Jika mereka tak membatasi jadwal pentasnya, dalam sebulan entah berapa yang bisa mereka kumpulkan (lihat: Maraknya Rezeki Dangdut).

Jika ditilik ke belakang, musik dangdut sebenarnya sudah go international sejak 10 tahun lalu. Kala itu, Camelia Malik dan Reynold Panggabean dengan grup Tarantula-nya sudah manggung di pusat hiburan Shibuya, Tokyo, selama tiga hari. Sejak itu, berturut-turut Fahmi Shahab, Hetty Sunjaya, dan Elvy Sukaesih mentas pula di negeri sakura. Lagu Kopi Dangdut Fahmi bahkan sempat direkam dan beredar di Jepang dengan nama Coffee Rhumba. Tentu, Rhoma Irama dan Soneta Group-nya sering pula muhibah ke mancanegara.

Kesemarakan musik dangdut kian lengkap dengan tampilnya Basofi Soedirman, Gubernur Jawa Timur, yang menyanyikan Tidak Semua Laki-Laki yang tersohor itu. Bayangkan, mana ada Pak Gubernur dan Pak Menteri yang terang-terangan terjun langsung ''menggilai'' musik pop atau rock di negeri ini. Kita pun terkenang lirik lagu Rhoma era 1970-an: Bagi pemusik yang anti-Melayu. Boleh benci, jangan mengganggu. Biarkan kami mendendangkan lagu. Lagu kami lagu Melayu. (Bersihar Lubis dan Joko Syahban)/GIS


Laporan terkait:


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.